Islam berasal dari bahasa Arab yaitu dari asal kata ‘Salam’ yang artinya ‘Damai Sejahtera’. Kalimat Islam itu sendiri jika diterjemahkan berarti ‘Selamat (Damai)”. Adapun kalimat ‘Salam’ dalam bahasa Ibrani yaitu ‘Shalowm’ yang artinya ‘damai Sejahtera’.
Para ulama ahli tafsir yang merujuk pada Al-Qur’an dan Hadist mendefinisikan Islam ialah selamat dari segala kemusyirikan (menyembah berhala), selamat dari kemungkaran (kejahatan) dan selamat dari api neraka (murka Allah).
Islam sebagai agama yang membawa risalah kedamaian dan kesejahteraan dan diyakini oleh para pemeluknya yang disebut sebagai orang yang beriman kepada Allah dan menjalankan segala hukum Allah akan memperoleh rahmat Allah berupa kedamaian lahiriah (hidup) dan bathiniyah (hati) dan kemudian akan mendapatkan kedamaian yang lebih besar lagi di sisi Allah, yaitu kedamaian di syurga. Tidaklah dapat diyakini jika orang-orang yang beriman kepada Allah itu menebar kebencian, permusuhan, perselisihan dan menimbulkan situasi yang tidak damai dan sejahtera.Sulit bagi kita meyakini berbagai perselisihan, pertikaian dan permusuhan antar umat beragama yang mengusik sentimen sensitif bernuansa Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) sebagaimana insiden yang terjadi pada jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dengan Front Pembela Islam (FPI) di Kampung Ciketing Asem, Mustika Jaya, Kota Bekasi. Mengapa? Bagi umat kristiani ajaran cinta kasih begitu mendalam diyakini oleh pemeluknya dan bagi umat Islam damai dan sejahtera adalah ajaran menuju kedamaian kepada Allah.
Pluralisme Gus Dur
Ketika insiden dan konflik bernuansa Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan(SARA) terjadi di bumi nusantara, suatu bangsa yang selalu memegang teguh jati diri dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, saya selalu mengenang Gus Dur sebagai tokoh pluralisme di Indonesia.
Dalam pertemuan untuk yang terakhir kali dengan Gus Dur, saya bersama dokter Emir Soendoro ketika mengunjungi beliau yang tengah terbaring sakit di kediamannya di Warung Sila Ciganjur, kami masih sempat mendiskusikan banyak hal mengenai masalah kebangsaan, setelah memeriksa kesehatan Gus Dur dan meminta kepada beliau agar esok pagi harus melakukan pencucian darah di RSCM Jakarta.
Suatu rencana yang tengah kami susun bersama Gus Dur adalah melakukan launching buku Jaminan Sosial Solusi Bangsa Indonesia Berdikari yang ditulis oleh Dr. Emir Soendoro, SpOT dan melakukan sosialisasi ke seluruh daerah di Indonesia, karenanya saya katakan kepada Gus Dur agar beliau cepat sembuh dan dapat kembali menjaga demokrasi, pluralitas dan keberagaman.
Gus Dur dan kami meyakini bahwa Jaminan Sosial bukan saja sebagai solusi bangsa Indonesia berdikari, akan tetapi, Jaminan Sosial bagi seluruh Warga Negara Indonesia adalah wujud nyata yang menjadi pondasi dasar dalam mempercepat kesejahteraan rakyat Indonesia dengan menerapkan Jaminan Kesehatan (JK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Pensiun (JP), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Kematian (JKM).
Rencana mensosialisasikan program Membangun Kesejahteraan Bangsa Indonesia (MKBI) melalui program Jaminan Sosial ke daerah-daerah di Indonesia agar dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan diikuti oleh masyarakat didasarkan pada keyakinan bahwa kesejahteraan sebagai salah satu prasyarat utama bagi tumbuh kembangnya Bhineka Tunggal Ika dan pluralisme serta nasionalisme di Indonesia.
Cita-cita mulia itu sayangnya harus mengalami perlambatan dalam gerakan menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat secara mandiri maupun bersama-sama pemerintah membangun kesejahteraan dan Membangun Kebudayaan (jati diri) Bangsa Indonesia (MKBI) dengan kesadaran pluralitas yang kita miliki, ketika Gus Dur mesti menempuh jalan damai dan sejahtera menuju kedamian di sisi Allah.
Menggali Kesadaran Pluralitas
Meski Gus Dur selaku bapak pluralisme bangsa Indonesia telah pergi meninggalkan kita, tentu bukan berarti semangat warga bangsa Indonesia membangun jati diri dan menjunjung tinggi pluralitas harus berhenti, lantaran kita menyadari bahwa secara normatif, para pendiri bangsa (founding fathers) sangat menjunjung tinggi pluralitas yang ada di dalam bangsa Indonesia, baik pluralitas pemerintahan daerah, kebudayaan, bahasa, agama dan lain-lain.
Penting pula bagi kita saat ini untuk kembali membuka sejarah penyebaran Islam yang dilakukan Nabi Muhammad saw yang membangun suatu peradaban yang sangat modern pada zamannya melalui suatu tata aturan yang dikenal dengan piagam madinah sebagai konstitusi atau perjanjian ketika nabi membangun peradaban di Madinah. Semangat Konstitusi Madinah mempunyai pengaruh begitu jauh, bisa dilihat bagaimana situasi seluruh Timur Tengah sampai sekarang tetap multi religion, multi religius, kecuali Arabia.
Nurcholis Madjid mencatatnya dengan amat baik bagaimana dalam sejarah Islam tidak ada istilah penaklukan, yang ada istilah pembebasan. Fath, fatchusjam (pembebasan Syria), fatchuparis (pembebasan Paris), fathchumesr (pembebasan Mesir), tidak ada tahr. Ketika Khalifah Umar datang untuk membebaskan Yerusalem, nama Ailea sedang populer di sana, itulah sebabnya perjanjian yang dibuat diberi nama Perjanjian Ailea, Mikatul Ailea. Isinya mirip sekali dengan Perjanjian Madinah dengan klausul-klausul yang sangat spesifik. Misalnya tidak boleh mengganggu gereja, tidak boleh mengganggu lingkungan gereja, salib, dan sebagainya. Oarang-orang Kristen tetap berhak atas kebebasan beragama mereka.
Kini bangsa Indonesia menemukan kembali momentum untuk merenungi perjalanan bangsa Indonesia dalam membangun jati dirinya, membangun Bhinneka Tunggal Ika dan menyadari pluralitas tanpa harus saling menyalahkan atas berbagai insiden yang telah terjadi. Kita mesti terus menggali prinsip-prinsip dari Pancasila sebagai alternatif pemikiran dalam rangka menyelesaikan berbagai konflik dan pertentangan yang bernuansa Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA).
Memikirkan kembali Pancasila sebagai paham yang mengakui adanya pluralitas kenyataan, namun mencoba merangkumnya dalam suatu wadah keindonesiaan. Kesatuan tidak boleh menghilangkan pluralitas yang ada, sebaliknya pluralitas tidak boleh menghancurkan persatuan Indonesia. Implikasi dari paham ini adalah berbagai produk hukum dan perundangan yang tidak sejalan dengan pandangan ini perlu ditinjau kembali, kalau perlu dicabut, karena jika tidak akan membawa risiko sosial politik yang tinggi.
Kita pun perlu menyadari bahwa sumber bahan Pancasila adalah di dalam tri prakara, yaitu dari nilai-nilai keagamaan, adat istiadat dan kebiasaan dalam kehidupan bernegara yang diterima oleh masyarakat. Dalam konteks ini, pemikiran tentang toleransi, kerukunan, persatuan, dan sebagainya idealnya digali dari nilai-nilai agama, adat istiadat, dan kebiasaan kehidupan bernegara yang diterima oleh masyarakat.
Akhirnya, kita sebagai kelompok umat yang beragama, terutama Islam sebagai agama yang mayoritas di Indonesia mesti menyadari bahwa Islam adalah agama yang damai dan mendamaikan. Salam damai dan CINTA Indonesia!
OPINI
Wahyu Triono
| 23 September 2010 | 12:20
Penulis adalah Direktur CINTA Indonesia dan Professional Campaign and Political Consultant pada DInov ProGRESS Indonesia.
Minggu, 26 September 2010
Islam Agama yang Damai
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar