Selasa, 28 September 2010

Berdoalah Sebanyak-banyaknya

“Dan Tuhanmu berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.’ ” (QS Al-Mu’min [40]: 60)

Berdoa adalah lambang rasa rendah diri dan ketidakberdayaan manusia di hadapan Allah yang dapat menumbuhkan perasaan ubudiyah (penghambaan) kepada Allah Swt.

Rasulullah Saw menjelaskan masalah ini dalam sebuah hadits: “Tidaklah di atas bumi ini seorang muslim berdoa kepada Allah, kecuali Allah akan memberinya tiga hal:
(1) Allah akan memberinya sesuai dengan yang ia minta; (2) atau Allah akan menghindarkannya dari kejahatan yang setara dengan doanya, selama tidak berdoa dengan suatu dosa atau memutus tali silaturahmi. Seseorang bertanya, ‘kalau kita perbanyak doa’? Rasul menjawab: ‘Allah lebih banyak lagi’ (3) Dalam riwayat lain, Allah akan menyimpan untuknya pahala sesuai dengan doanya” (HR At-Turmudzi, Hasan Shahih).

Mungkin kita punya keinginan untuk berinteraksi dengan Al-Qur’an tetapi berulangkali gagal dalam melakukannya, bahkan sekedar khatam sebulan sekali pun susah. Bila demikian keadaannya, artinya iman kita berada pada kondisi prihatin karena hari-hari kita sebulan penuh sangat minim diwarnai oleh Al-Qur’an.

Dalam kondisi itu, kalau kita sedih artinya insya Allah dapat memperbaiki diri, tetapi bila masa bodoh/mencari pembenaran artinya kita harus banyak belajar lagi tentang hakikat keimanan kepada Al-Qur’an. Sepantasnya kita khawatir kalau sampai umur kita habis tetapi belum tertarik untuk hidup ‘di bawah naungan’ Al-Qur’an.

Alangkah indahnya bila kita rajin berdoa, bukan cuma untuk urusan dunia, seperti harta dan yang lainnya melainkan seperti ini: “Ya Allah tolonglah aku agar dapat rajin membaca kitab suci-Mu, memahaminya, mentadabburinya dan mengamalkannya. Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah Engkau Maha Tahu apa yang ada di dalam diriku, yaitu suatu keinginan yang sangat kuat untuk hidup bersama kitab suci-Mu. Ya Allah Engkau yang memiliki kitab suci ini, Engkau Maha Kuasa untuk memberikan kepada siapa yang Engkau kehendaki kemampuan untuk hidup bersama kitab suci-Mu.”

Beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1. Meyakini bahwa doa kita pasti akan dikabulkan oleh Allah Swt, tidak tergesa-gesa meminta agar dikabulkan segera. Konsentrasikan pikiran kita kepada aktifitas berdoanya, bukan kepada dampak dan hasil dari doanya agar kita tidak diliputi oleh perasaan bahwa doa kita lama sekali terkabulnya.
2. Mencari waktu yang dijanjikan bahwa doa akan lebih cepat dikabulkan, seperti saat selesai shalat wajib, antara adzan dan qamat, sepertiga akhir malam, saat wukuf di Arafah, sujud, dll.
3. Melakukan berbagai macam tawassul berupa amal shalih yang mendahului doa untuk membangun kedekatan dengan Allah Swt terlebih dahulu agar pada saat berdoa hubungan kita menjadi istimewa. Bentuknya dapat berupa istighfar, bershalawat kepada Rasulullah Saw, shaum, khatam Qur’an dsb.
4. Berdoa dengan ilhah (terus menerus dan ngotot). Kalau dalam urusan duniawi kita sudah terbiasa melakukannya, bisakah pula kita melakukannya dalam urusan akhirat?
5. Ikuti semua aturan dan adab berdoa, mulai dengan memuji Allah Swt sebanyak-banyaknya, bershalawat kepada Rasulullah Saw, menghadap kiblat, dsb.

Berdoalah kepada Allah Swt sebanyak-banyaknya dengan khusyu, tawadlu dan penuh harap.

baca selengkapnya......

Minggu, 26 September 2010

Islam Agama yang Damai

Islam berasal dari bahasa Arab yaitu dari asal kata ‘Salam’ yang artinya ‘Damai Sejahtera’. Kalimat Islam itu sendiri jika diterjemahkan berarti ‘Selamat (Damai)”. Adapun kalimat ‘Salam’ dalam bahasa Ibrani yaitu ‘Shalowm’ yang artinya ‘damai Sejahtera’.
Para ulama ahli tafsir yang merujuk pada Al-Qur’an dan Hadist mendefinisikan Islam ialah selamat dari segala kemusyirikan (menyembah berhala), selamat dari kemungkaran (kejahatan) dan selamat dari api neraka (murka Allah).
Islam sebagai agama yang membawa risalah kedamaian dan kesejahteraan dan diyakini oleh para pemeluknya yang disebut sebagai orang yang beriman kepada Allah dan menjalankan segala hukum Allah akan memperoleh rahmat Allah berupa kedamaian lahiriah (hidup) dan bathiniyah (hati) dan kemudian akan mendapatkan kedamaian yang lebih besar lagi di sisi Allah, yaitu kedamaian di syurga. Tidaklah dapat diyakini jika orang-orang yang beriman kepada Allah itu menebar kebencian, permusuhan, perselisihan dan menimbulkan situasi yang tidak damai dan sejahtera.Sulit bagi kita meyakini berbagai perselisihan, pertikaian dan permusuhan antar umat beragama yang mengusik sentimen sensitif bernuansa Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) sebagaimana insiden yang terjadi pada jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dengan Front Pembela Islam (FPI) di Kampung Ciketing Asem, Mustika Jaya, Kota Bekasi. Mengapa? Bagi umat kristiani ajaran cinta kasih begitu mendalam diyakini oleh pemeluknya dan bagi umat Islam damai dan sejahtera adalah ajaran menuju kedamaian kepada Allah.


Pluralisme Gus Dur


Ketika insiden dan konflik bernuansa Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan(SARA) terjadi di bumi nusantara, suatu bangsa yang selalu memegang teguh jati diri dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, saya selalu mengenang Gus Dur sebagai tokoh pluralisme di Indonesia.
Dalam pertemuan untuk yang terakhir kali dengan Gus Dur, saya bersama dokter Emir Soendoro ketika mengunjungi beliau yang tengah terbaring sakit di kediamannya di Warung Sila Ciganjur, kami masih sempat mendiskusikan banyak hal mengenai masalah kebangsaan, setelah memeriksa kesehatan Gus Dur dan meminta kepada beliau agar esok pagi harus melakukan pencucian darah di RSCM Jakarta.
Suatu rencana yang tengah kami susun bersama Gus Dur adalah melakukan launching buku Jaminan Sosial Solusi Bangsa Indonesia Berdikari yang ditulis oleh Dr. Emir Soendoro, SpOT dan melakukan sosialisasi ke seluruh daerah di Indonesia, karenanya saya katakan kepada Gus Dur agar beliau cepat sembuh dan dapat kembali menjaga demokrasi, pluralitas dan keberagaman.
Gus Dur dan kami meyakini bahwa Jaminan Sosial bukan saja sebagai solusi bangsa Indonesia berdikari, akan tetapi, Jaminan Sosial bagi seluruh Warga Negara Indonesia adalah wujud nyata yang menjadi pondasi dasar dalam mempercepat kesejahteraan rakyat Indonesia dengan menerapkan Jaminan Kesehatan (JK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Pensiun (JP), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Kematian (JKM).
Rencana mensosialisasikan program Membangun Kesejahteraan Bangsa Indonesia (MKBI) melalui program Jaminan Sosial ke daerah-daerah di Indonesia agar dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan diikuti oleh masyarakat didasarkan pada keyakinan bahwa kesejahteraan sebagai salah satu prasyarat utama bagi tumbuh kembangnya Bhineka Tunggal Ika dan pluralisme serta nasionalisme di Indonesia.
Cita-cita mulia itu sayangnya harus mengalami perlambatan dalam gerakan menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat secara mandiri maupun bersama-sama pemerintah membangun kesejahteraan dan Membangun Kebudayaan (jati diri) Bangsa Indonesia (MKBI) dengan kesadaran pluralitas yang kita miliki, ketika Gus Dur mesti menempuh jalan damai dan sejahtera menuju kedamian di sisi Allah.
Menggali Kesadaran Pluralitas
Meski Gus Dur selaku bapak pluralisme bangsa Indonesia telah pergi meninggalkan kita, tentu bukan berarti semangat warga bangsa Indonesia membangun jati diri dan menjunjung tinggi pluralitas harus berhenti, lantaran kita menyadari bahwa secara normatif, para pendiri bangsa (founding fathers) sangat menjunjung tinggi pluralitas yang ada di dalam bangsa Indonesia, baik pluralitas pemerintahan daerah, kebudayaan, bahasa, agama dan lain-lain.
Penting pula bagi kita saat ini untuk kembali membuka sejarah penyebaran Islam yang dilakukan Nabi Muhammad saw yang membangun suatu peradaban yang sangat modern pada zamannya melalui suatu tata aturan yang dikenal dengan piagam madinah sebagai konstitusi atau perjanjian ketika nabi membangun peradaban di Madinah. Semangat Konstitusi Madinah mempunyai pengaruh begitu jauh, bisa dilihat bagaimana situasi seluruh Timur Tengah sampai sekarang tetap multi religion, multi religius, kecuali Arabia.
Nurcholis Madjid mencatatnya dengan amat baik bagaimana dalam sejarah Islam tidak ada istilah penaklukan, yang ada istilah pembebasan. Fath, fatchusjam (pembebasan Syria), fatchuparis (pembebasan Paris), fathchumesr (pembebasan Mesir), tidak ada tahr. Ketika Khalifah Umar datang untuk membebaskan Yerusalem, nama Ailea sedang populer di sana, itulah sebabnya perjanjian yang dibuat diberi nama Perjanjian Ailea, Mikatul Ailea. Isinya mirip sekali dengan Perjanjian Madinah dengan klausul-klausul yang sangat spesifik. Misalnya tidak boleh mengganggu gereja, tidak boleh mengganggu lingkungan gereja, salib, dan sebagainya. Oarang-orang Kristen tetap berhak atas kebebasan beragama mereka.
Kini bangsa Indonesia menemukan kembali momentum untuk merenungi perjalanan bangsa Indonesia dalam membangun jati dirinya, membangun Bhinneka Tunggal Ika dan menyadari pluralitas tanpa harus saling menyalahkan atas berbagai insiden yang telah terjadi. Kita mesti terus menggali prinsip-prinsip dari Pancasila sebagai alternatif pemikiran dalam rangka menyelesaikan berbagai konflik dan pertentangan yang bernuansa Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA).
Memikirkan kembali Pancasila sebagai paham yang mengakui adanya pluralitas kenyataan, namun mencoba merangkumnya dalam suatu wadah keindonesiaan. Kesatuan tidak boleh menghilangkan pluralitas yang ada, sebaliknya pluralitas tidak boleh menghancurkan persatuan Indonesia. Implikasi dari paham ini adalah berbagai produk hukum dan perundangan yang tidak sejalan dengan pandangan ini perlu ditinjau kembali, kalau perlu dicabut, karena jika tidak akan membawa risiko sosial politik yang tinggi.
Kita pun perlu menyadari bahwa sumber bahan Pancasila adalah di dalam tri prakara, yaitu dari nilai-nilai keagamaan, adat istiadat dan kebiasaan dalam kehidupan bernegara yang diterima oleh masyarakat. Dalam konteks ini, pemikiran tentang toleransi, kerukunan, persatuan, dan sebagainya idealnya digali dari nilai-nilai agama, adat istiadat, dan kebiasaan kehidupan bernegara yang diterima oleh masyarakat.
Akhirnya, kita sebagai kelompok umat yang beragama, terutama Islam sebagai agama yang mayoritas di Indonesia mesti menyadari bahwa Islam adalah agama yang damai dan mendamaikan. Salam damai dan CINTA Indonesia!

OPINI
Wahyu Triono
| 23 September 2010 | 12:20

Penulis adalah Direktur CINTA Indonesia dan Professional Campaign and Political Consultant pada DInov ProGRESS Indonesia.

baca selengkapnya......

Kamis, 23 September 2010

10 Hal yang Mendatangkan Cinta Allah


10 Hal yang Mendatangkan Cinta Allah

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.

Saudaraku, sungguh setiap orang pasti ingin mendapatkan kecintaan Allah. Lalu bagaimanakah cara cara untuk mendapatkan kecintaan tersebut. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan beberapa hal untuk mendapatkan maksud tadi dalam kitab beliau Madarijus Salikin.

Pertama, membaca Al Qur’an dengan merenungi dan memahami maknanya. Hal ini bisa dilakukan sebagaimana seseorang memahami sebuah buku yaitu dia menghafal dan harus mendapat penjelasan terhadap isi buku tersebut. Ini semua dilakukan untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh si penulis buku. [Maka begitu pula yang dapat dilakukan terhadap Al Qur’an,...

Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan ibadah yang sunnah, setelah mengerjakan ibadah yang wajib. Dengan inilah seseorang akan mencapai tingkat yang lebih mulia yaitu menjadi orang yang mendapatkan kecintaan Allah dan bukan hanya sekedar menjadi seorang pecinta.

Ketiga, terus-menerus mengingat Allah dalam setiap keadaan, baik dengan hati dan lisan atau dengan amalan dan keadaan dirinya. Ingatlah, kecintaan pada Allah akan diperoleh sekadar dengan keadaan dzikir kepada-Nya.

Keempat, lebih mendahulukan kecintaan pada Allah daripada kecintaan pada dirinya sendiri ketika dia dikuasai hawa nafsunya. Begitu pula dia selalu ingin meningkatkan kecintaan kepada-Nya, walaupun harus menempuh berbagai kesulitan.

Kelima, merenungi, memperhatikan dan mengenal kebesaran nama dan sifat Allah. Begitu pula hatinya selalu berusaha memikirkan nama dan sifat Allah tersebut berulang kali. Barangsiapa mengenal Allah dengan benar melalui nama, sifat dan perbuatan-Nya, maka dia pasti mencintai Allah. Oleh karena itu, mu’athilah, fir’auniyah, jahmiyah (yang kesemuanya keliru dalam memahami nama dan sifat Allah), jalan mereka dalam mengenal Allah telah terputus (karena mereka menolak nama dan sifat Allah tersebut).

Keenam, memperhatikan kebaikan, nikmat dan karunia Allah yang telah Dia berikan kepada kita, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah faktor yang mendorong untuk mencintai-Nya.

Ketujuh, -inilah yang begitu istimewa- yaitu menghadirkan hati secara keseluruhan tatkala melakukan ketaatan kepada Allah dengan merenungkan makna yang terkandung di dalamnya.

Kedelapan, menyendiri dengan Allah di saat Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir untuk beribadah dan bermunajat kepada-Nya serta membaca kalam-Nya (Al Qur’an). Kemudian mengakhirinya dengan istighfar dan taubat kepada-Nya.

Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang mencintai Allah dan bersama para shidiqin. Kemudian memetik perkataan mereka yang seperti buah yang begitu nikmat. Kemudian dia pun tidaklah mengeluarkan kata-kata kecuali apabila jelas maslahatnya dan diketahui bahwa dengan perkataan tersebut akan menambah kemanfaatan baginya dan juga bagi orang lain.

Kesepuluh, menjauhi segala sebab yang dapat mengahalangi antara dirinya dan Allah Ta’ala.

Semoga kita senantiasa mendapatkan kecintaan Allah, itulah yang seharusnya dicari setiap hamba dalam setiap detak jantung dan setiap nafasnya.

Ibnul Qayyim mengatakan bahwa kunci untuk mendapatkan itu semua adalah dengan mempersiapkan jiwa (hati) dan membuka mata hati.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallalahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Sumber: Madaarijus Saalikin, 3/ 16-17, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, terbitan Darul Hadits Al Qohiroh

baca selengkapnya......